Friday, February 25, 2011

TAUBAT SEBELUM AJAL MENDEKAT




Taubat secara etimologis (bahasa) berasal dari kata tâba (fi’il madhi), yatûbu (fi’il mudhari’), taubatan (mashdar), yang berarti “kembali” atau “pulang” (raja’a) (Haqqi, 2003). Adapun secara terminologis (menurut makna syar’i), secara ringkas Imam an-Nawawi mengatakan, taubat adalah raja’a ‘an al-itsmi (kembali dari dosa) (Syarah Shahih Muslim, XVII/59). Dengan kata lain, taubat adalah kembali dari meninggalkan segala perbuatan tercela (dosa) untuk melakukan perbuatan yang terpuji (‘Atha, 1993).
Adapun pengertian dosa (itsmun/dzanbun/ma’shiyat), adalah melakukan yang haram (irtikabul haram) seperti mencuri, berzina, minum khamr, dan meninggalkan kewajiban (tarkul wajib) seperti meninggalkan shalat, tidak berdakwah, dan tidak menjalankan hukum-hukum Allah di muka bumi (Al-Maliki, 1990).
Taubat tersebut adalah suatu keniscayaan bagi manusia, sebab tidak satu pun anak keturunan Adam AS di dunia ini yang tidak luput dari berbuat dosa. Semua manusia, pasti pernah melakukan berdosa. Hanya para nabi dan malaikat saja yang luput dari dosa dan maksiyat (lihat Qs. at-Tahrim [66]: 6). Manusia yang baik bukan orang yang tidak berdosa, melainkan manusia yang jika berdosa dia melakukan taubat. Rasulullah Saw telah bersabda:
“Setiap anak Adam (manusia) mempunyai salah (dosa), dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah mereka yang bertaubat.” [HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah] (‘Atha, 1993).
Yang menarik, dalam hadits itu Rasulullah Saw menggunakan kata “anak Adam” (bani Adam) untuk menunjukkan pengertian “manusia”. Hal itu tentu mengandung maksud. Antara lain untuk mengingatkan kita akan sejarah Bapak kita, yaitu Nabi Adam AS, sebagai manusia pertama yang bertaubat. Sebagai manusia, Adam (sebelum diangkat menjadi nabi) telah melakukan dosa dengan memakan buah dari pohon yang dilarang Allah untuk mendekati (memakan) buahnya (Qs. al-Baqarah [2]: 35). Namun dengan segera, Adam bertaubat dan Allah pun menerima taubatnya. Allah SWT berfirman:
“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabb-nya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” (Qs. al-Baqarah [2]: 37).
Berkebalikan dengan sikap Adam, adalah sikap Iblis. Iblis itulah yang pertama kali tidak mau bertaubat kepada Allah setelah melakukan dosa. Allah SWT telah memerintah Iblis untuk bersujud (sebagai penghormatan, bukan ibadah) kepada Adam tapi Iblis tidak mau mentaatinya. Iblis bersikap enggan menjalankan perintah Allah, bersikap takabbur dan termasuklah ia ke dalam golongan kaum kafirin (Qs. al-Baqarah [2]: 34).
Maka sebagai anak keturunan nabi Adam AS, sudah selayaknya kita mengambil pelajaran dan mengikuti sikap adam AS yang mau bertobat. Bukan mengikuti sikap Iblis yang takabbur dan enggan bertaubat setelah melakukan dosa. Padahal setiap dosa itu wajib ditaubati, tidak boleh tidak.
Memang, secara syar’i setiap perbuatan dosa itu wajib ditaubati tanpa kecuali. Sebab taubat hukumnya adalah wajib untuk setiap dosa yang dilakukan, entah dosa karena mengerjakan larangan Allah (sesuatu yang haram), entah dosa karena meninggalkan perintah Allah (sesuatu yang wajib). Allah SWT berfirman:
“Dan bertaubatlah kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Qs. an-Nûr [24]: 31).
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya.” (Qs. at-Tahrim [66]: 8).
Ayat-ayat di atas menunjukkan adanya perintah bertaubat atas orang-orang yang beriman (muslim). Taubat adalah ciri orang mukmin. Namun demikian, kewajiban taubat sesungguhnya juga tertuju kepada orang kafir, bukan hanya orang muslim. Sebab kekufuran juga termasuk dosa atau maksiyat, bahkan maksiyat yang terbesar. Cara bertaubatnya ialah dengan jalan masuk Islam.
Karena itu, kepada orang yang murtad sebelum dihukum mati, harus dilakukan istitabah, yang artinya diminta taubat dengan masuk Islam lagi. Khalifah Umar bin Khaththab ra melakukan istitabah kepada orang yang murtad selama jangka waktu tiga hari (Al-Maliki, 1990).
Kewajiban taubat atas kaum kafir ditunjukkan oleh berbagai dalil, antara lain firman Allah SWT:
“Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang telah lalu.” (Qs. al-Anfâl [8]: 38).
Rasulullah Saw bersabda:
“Allah SWT tertawa gembira manakala ada dua orang yang bunuh membunuh yang kedua-duanya masuk surga. Yang seorang berperang di jalan Allah lalu dia itu terbunuh. Kemudian orang yang membunuhnya bertaubat kepada Allah lalu masuk Islam dan terbunuh pula (mati syahid).” [HR. Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah ra] (An-Nawawi, 1989).
Bagaimana cara bertaubat? Bagi mereka yang hendak bertaubat, wajib memenuhi syarat-syarat taubat agar taubatnya sah. Syarat-syarat ini tak ubahnya seperti syarat-syarat shalat, yang jika tidak dipenuhi satu syarat atau lebih daripadanya, maka shalatnya tidaklah sah dalam pandangan syara’. Demikian pula syarat-syarat taubat. Terdapat 3 (tiga) syarat taubat:
Pertama, menghentikan perbuatan dosa yang dilakukan.
Kedua, menyesal atas perbuatan dosa yang telah dilakukan.
Ketiga, bertekat kuat (‘azam) untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa itu di masa datang untuk selama-lamanya (An-Nawawi, 1989).
Jika salah satu syarat itu tidak terpenuhi, maka taubatnya tidak sah dan tidak diterima oleh Allah SWT. Ini seperti halnya orang shalat yang tidak berwudhu, shalatnya tidak diterima. Orang yang bertaubat dari suatu dosa, tapi tidak berhenti dari perbuatan dosanya itu, taubatnya tidak diterima. Demikian pula orang yang bertaubat, tapi tidak menyesali dosanya dan malah membanggakannya, tidak diterima taubatnya. Dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud ra secara marfu’, “An-nadamu taubatun.” (Menyesal itu adalah taubat). [HR. Abu Dawud dan al-Hakim] (Al-Math, 1993).
Terdapat syarat keempat taubat, khusus untuk perbuatan dosa yang menyangkut hubungan sesama manusia, yaitu menyelesaikan urusan itu kepada yang bersangkutan. Jika berupa utang yang belum dilunasi padahal mampu, harus segera dilunasi. Jika menguasai harta orang, wajib dikembalikan kepadanya. Jika berupa tuduhan atau gunjingan (ghibah), wajib minta maaf atau minta dihalalkan. Demikianlah seterusnya (Nawawi, 1989; ‘Atha`, 1993, Haqqi, 2003).
Apabila syarat-syarat taubat di atas terpenuhi, maka taubatnya sah dan insya Allah diterima oleh Allah SWT. Namun perlu diingat, taubat itu ada batas waktunya, yaitu ada titik waktu yang jika telah sampai, maka suatu taubat tetap tidak diterima walaupun telah memenuhi syarat-syaratnya secara lengkap. Batas waktu tersebut ada 2 (dua), yaitu:
Pertama, batas waktu individual, yaitu batas waktu untuk setiap-setiap individu manusia. Batas ini adalah ketika nyawa seseorang sudah sampai di tenggorokan. Rasulullah Saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla akan menerima taubat seseorang, sebelum nyawanya sampai di tenggorokan (sebelum ia sekarat).” [HR. at-Tirmidzi].
Kedua, batas waktu universal, yaitu batas waktu yang berlaku secara universal untuk seluruh manusia. Batas ini adalah ketika matahari telah terbit dari arah barat, yang merupakan salah satu tanda besar (‘alamat kubro) akan datangnya Hari Kiamat. Rasulullah Saw bersabda:
“Barangsiapa yang bertaubat sebelum matahari terbit dari sebelah barat, maka Allah menerima taubatnya.” [HR. Muslim].
Seorang sahabat Nabi Saw, Hudzaifah bin Usaid ra, meriwayatkan, “Suatu saat Rasulullah memperhatikan kami yang sedang merenungkan sesuatu. Maka Rasulullah Saw bertanya, ‘Apakah yang sedang kalian renungkan?’ Kami menjawab, ‘Kami sedang mengingat Hari Kiamat.’ Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Hari Kiamat tidak akan terjadi sebelum kalian melihat sebelumnya sepuluh tanda, yaitu: …(di antaranya) matahari terbit dari barat’.” [HR. Muslim] (Al-Jazairi, 1994).
Lalu, dosa apa saja yang wajib kita taubati saat ini? Seperti telah dijelaskan, setiap dosa wajib untuk ditaubati. Sebab perintah taubat datang dalam bentuk redaksi yang umum, mencakup segala macam bentuk dosa. Baik dosa akibat melakukan keharaman maupun dosa akibat meninggalkan kewajiban. Baik dosa yang dilakukan secara orang per orang, maupun dosa yang dilakukan oleh banyak orang (dosa jama’ah), yaitu dosa dalam sebuah negeri atau sebuah kaum.
Terdapat banyak nash-nash syariah yang menjelaskan terjadinya suatu dosa pada suatu negeri (qaryah) atau suatu kaum (qaum), sebagaimana terdapat pula nash-nash syariah yang menjelaskan kewajiban taubat bagi atas suatu penduduk negeri (ahlul quro) (lihat misalnya Qs. al-A’râf [7]: 96).
Nash yang menjelaskan adanya dosa jama’ah (suatu komunitas), misalnya Rasulullah Saw berkata:
“Jika riba dan zina sudah merata di suatu negeri (qaryah), maka mereka telah menghalalkan diri mereka untuk menerima azab Allah.” [HR. al-Hakim].
“Tidaklah dalam suatu kaum itu merata riba, melainkan dalam kaum itu merata pula penyakit gila. Dan tidaklah merata dalam kaum itu perzinaan, kecuali merata pula dalam kaum itu kematian. Dan tidaklah kaum itu mengurangi takaran dan timbangan, melainkan Allah akan menahan tetesan air hujan.” [HR. Ibnu Majah dan al-Baihaqi] (Muda’im, 1987).
Hadits-hadits di atas dengan jelas menunjukkan adanya suatu dosa (riba, zina, mengurangi takaran dan timbangan) yang tidak hanya dilakukan oleh orang per orang, melainkan dilakukan oleh orang banyak (jama’ah) sehingga diungkapkan dengan kalimat “zhahara di qaryatin” (merajalela di suatu negeri), atau “mâ zhahara fi qaumin” (tidaklah merata di suatu kaum…).
Di antara dosa jamaah itu, adalah adanya penguasa yang tidak menjalankan syariah Islam dan yang tidak menjalankan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, yang ternyata akan menimbulkan banyak bencana kepada rakyat yang dipimpinnya. Ini sebagaimana termaktub dalam hadits panjang berikut ini, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
“Bagaimana kalian jika terjadi lima perkara, dan aku berlindung kepada Allah mudah-mudahan lima perkara itu tidak terjadi pada kalian dan kalian pun tidak mengalaminya. Pertama, tidaklah perbuatan zina itu merata di suatu kaum, dikerjakan secara terang-terangan, melainkan tampak di kaum itu tha’un (wabah penyakit) dan kelaparan yang tidak pernah dijumpai oleh nenek moyang mereka dahulu.
Kedua, tidaklah kaum itu menahan zakat, melainkan mereka itu dicegah oleh Allah dari turunnya hujan dari langit. Andaikata tidak ada binatang ternak, tentu mereka tidak akan mendapat hujan.
Ketiga, tidaklah kaum itu mengurangi takaran dan timbangan, melainkan mereka disiksa oleh Allah dengan kesengsaraan bertahun-tahun, sukarnya kebutuhan hidup, dan kezaliman penguasa.
Keempat, tidaklah pemimpin-pemimpin mereka itu menghukumi dengan selain apa yang diturunkan Allah, melainkan mereka akan dikuasai oleh musuh mereka lalu musuh mereka ini merampas sebagian apa yang menjadi milik kaum itu (kekayaan, kedaulatan, dan sebagainya).
Kelima, tidaklah mereka (pemimpin-pemimpin itu) mengabaikan Kitabullah dan Sunnah Nabi mereka, melainkan Allah menjadikan bahaya terjadi di antara mereka sendiri.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah] (Muda’im, 1987)
Hadits di atas menegaskan bahwa di antara dosa jamaah yang terjadi di suatu kaum, yakni seperti keadaan kita sekarang, adalah dosa akibat pemimpin-pemimpin kita yang tidak menjalankan apa yang diturunkan Allah, alias tidak menjalankan syariah Islam.
Maka, sudah menjadi kewajiban kita semua untuk bertaubat. Caranya: pemimpin-pemimpin kita wajib kembali kepada syariah Islam, dan kita pun wajib menegakkan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa agar mereka mau kembali menerapkan syariah Islam.
Namun, sebagaimana permusuhan abadi antara Adam as (yang mau bertaubat) dengan Iblis (yang enggan bertaubat), terjadi pula saat ini pertentangan yang mirip dengan perseteruan dua musuh bebuyutan itu. Kini muncul pertentangan antara mereka yang hendak bertaubat dengan kembali menerapkan syariah Islam, dengan mereka yang menolak taubat dengan cara menentang syariah Islam, serta berusaha melestarikan sistem sekuler warisan nenek moyang yang berasal dari penjajah kafir. Allah SWT menjelaskan hakikat pertentangan seperti ini dengan firman-Nya:
“Dan jika dikatakan kepada mereka, ‘Ikutilah apa-apa yang diturunkan Allah!’ Maka mereka berkata, ‘Tetapi kami mengikuti apa-apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami.’ (Apakah mereka akan tetap mengikuti bapak-bapak mereka) meskipun bapak-bapak mereka itu tidak memikirkan suatu apa pun dan tidak pula mendapat petunjuk?” (Qs. al-Baqarah [2]: 170).
Mereka yang tak mau taubat itu saat ini wujudnya adalah kaum liberal-sekuler yang selalu saja memusuhi dan memerangi syariah Islam. Tak diragukan lagi, mereka adalah syaitan pengikut Iblis yang tak mau bertaubat itu! Mereka adalah syaitan yang menjadi musuh Rasulullah Saw, sebagaimana Iblis adalah musuh bagi Nabi Adam as. Firman Allah SWT :
“Demikianlah Kami jadikan musuh bagi tiap-tiap nabi, yaitu syaitan dari golongan manusia dan dari golongan jin. Sebagian mereka membisikkan perkataan yang indah kepada yang lain, untuk membuat tipu daya…” (Qs. al-An’âm [6]: 112).
Hendaknya kita tidak terkecoh dengan tipu daya mereka, yang sering kali mempropagandakan sekularisme seperti yang telah dipraktikkan di Amerika Serikat dan negara Barat lainnya. Mereka mengklaim bahwa Barat telah berhasil dan sukses dalam kehidupan ini, walaupun tidak menjalankan syariah Islam.
Memang, terkadang orang kafir atau muslim yang tidak taat, mendapat limpahan rezeki dari Allah SWT. Dan mereka pun aman-aman saja, tidak mendapat siksaan dan bencana dari Allah SWT. Tapi nanti dulu. Nanti dulu ! Sesungguhnya itu hakikatnya adalah tipu daya dari Allah SWT, bukan tanda bahwa Allah SWT meridhoi mereka. Allah SWT berfirman:
“Tatkala mereka lupa akan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami bukakan bagi mereka pintu-pintu dari segala sesuatu (nikmat dan kesenangan), sehingga apabila mereka berbangga dengan (kesenangan) yang mereka peroleh itu, lalu dengan sekonyong-konyong Kami siksa mereka, sehingga mereka berputus asa.” (Qs. al-An’âm [6]: 44).
Memang pada dasarnya, setiap dosa dan kemaksiatan akan membawa bencana dan musibah (lihat misalnya Qs. Thâhâ [20]: 123-124). Tapi, adakalanya, pelaku kemaksiatan aman-aman saja di dunia. Tapi ini bukan berarti mereka akan selamat dari azab Allah. Azabnya ditunda nanti di Hari Kiamat. Rasulullah Saw menjelaskan:
“Jika Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Allah akan mempercepat hukuman atas dosanya (di dunia). Dan jika Allah menghendaki bagi hamba-Nya keburukan, maka Allah menyimpan dosanya sampai hamba-Nya itu harus menebusnya pada Hari Kiamat.” [HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi] (Almath, 1993).
Akhirul kalam, marilah kita bertaubat kepada Allah atas segala dosa kita. Mumpung nyawa belum sampai di tenggorokan. Ingat, kematian itu adakalanya datang sangat mendadak dan tidak pernah diduga kapan datangnya.
Marilah kita sebagai kaum muslimin sebagai suatu jamaah, bertaubat dengan cara kembali menerapkan Syariah Islam dan menghapuskan sistem sekuler yang kufur yang ada saat ini. Mari kita renungkan bersama firman Allah:
“Kalau sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertaqwa, niscaya Kami bukakan kepada mereka berkah-berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), oleh sebab itu Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya itu.” (Qs. al-A’râf [7]: 96).
Allah SWT berfirman pula:
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut, karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (balasan) perbuatan yang mereka lakukan, mudah-mudahan mereka kembali (taubat).” (Qs. ar-Rûm [30]: 41).
Wallahu a’lam.

Daftar Pustaka:
1. Al-Jazairi, Abu Bakar Jabir. 1994. Aqidah Seorang Mukmin (Aqidah Al-Mu`min). Terjemahan oleh Salim Bazemool. Solo : CV. Pustaka Mantiq.
2. Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Bayariq.
3. Al-Math, Muhammad Faiz. 1993. 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad (Qabasun Min Nur Muhammad SAW). Terjemahan oleh A. Aziz Salim Bsyarahil. Jakarta : Gema Insani Press.
4. An-Nawawi, Imam. 1989. Terjemah Riyadhus Shalihin (Riyadh Ash-Shalihin). Terjemahan oleh Muslich Shabir. Semarang “ Toha Putera.
5. ‘Atha, Abdul Qadir. 1993. Leburkan Dosamu Raihlah Pahalamu (Mukaffirat Adz-Dzunub wa Tsawab Al-A’mal Ash-Shalihat). Suarabaya : Media Idaman.
6. Haqqi, Ahmad Mu’adz. 2003. Syarah 40 Hadits Tentang Akhlak (Al-Arba’un Haditsan fi Al-Akhlaq ma’a Syarhiha). Terjemahan oleh Abu Azka. Jakarta : Pustaka Azzam
7. Muda`im, Ali Hamdi. 1987. Ramalan-Ramalan Rasulullah SAW Tentang Akhir Zaman. Surabaya : CV. Bintang Pelajar.

PERJALANAN SEORANG MUSAFIR

Lebih 1400 tahun yang lalu Rasulullah SAW panutan kita yang mulia pernah mengigatkan kita dalam sabdanya :
“Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing, atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat.” (HR Bukhari)
Pesannya cukup singkat tapi sarat dengan makna. Mengapa kita diminta membandingkan hidup ini dengan seorang musafir yang sedang bepergian? Marilah kita sejenak membayangkan diri kita menjadi seorang musafir. Apa kira-kira yang akan kita rasakan ketika kita sedang melakukan perjalanan menuju satu tujuan. Tentulah kita tidak merasa senang dengan keadaan safar kita, karena kita memahami bahwa kita pergi hanya sementara, apa yang menyertai kita dalam perjalanan  semuanya  akan kita tinggalkan, misalnya teman seperjalanan, tempat-tempat yang kita singgahi, harta yang kita bawa semuanya akan habis dan meninggalkan kita  satu persatu. Selain itu mengapa kita tidak suka dengan perjalanan kita, karena kita merindukan berkumpul kembali dengan keluarga di tempat asal kita. Jakarta adalah kota perantauan, banyak diantara warga yang tinggal di Jakarta adalah orang perantauan yang hanya sekedar mencari rizki di ibu kota. Mereka rela tinggal dikamar kost yang kecil, padat dan kumuh asal dapat mengirim uang ke sanak family di kampung halaman. Banyak di antara warga Jakarta yang tidak memiliki rumah tetap di Jakarta asal dapat membangun rumah yang megah di daerah asal. Seperti itulah laiknya seorang muslim memandang kehidupan. Tak lebih dari sekedar menjalani kehidupan bak seorang musafir yang meyakini kelak harus pulang ke kampung halamannya. Mengapa demikian sebab asal dari semua manusia adalah dari surga. Ya kampung halaman kita adalah di surga, sebagaimana asal dari nenek moyang kita Nabi Adam As dan Ibunda Hawa yang tinggal disurga sebelum dibujuk dan dirayu oleh Iblis laknatullah alaih hingga akhirnya diturunkan oleh Allah ke dunia.
               Kita hidup di dunia benar-benar sebagai seorang musafir yang kelak akan pulang ke tempat asal kita di surga. Akan tetapi Iblis dan syetan anakbuahnya tidak rela membiarkan kita kembali pulang ke rumah kita. Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menyesatkan kita hingga kita tersesat dan tidak tahu jalan pulang ke rumah. Itulah sumpah Iblis sebagaiman di jelaskan oleh Allah:
“Iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis di antara mereka." (QS. Al Hijr: 39-40)
Oleh karena itu banyak manusia yang tertipu oleh Iblis dan syetan. Mereka lupa bahwa mereka ada di dunia hanyalah sementara. Mereka benar-benar lupa. Mengapa dikatakan lupa? Orang lupa bukanlah orang yang tidak mengerti. Mayoritas mereka ketika ditanya tentang akhirat mereka pasti tahu. Tetapi karena tipu daya iblis dan syetan akhirnya mereka terlena dengan asyiknya hidup di dunia. Dunia seakan segala-galanya. Mereka rela berperang, saling bermusuhan, saling intrik dan adu siasat hanya gara-gara urusan dunia. Inilah tipuan iblis dan syetan yang benar-benar nyata.
Agar kita tidak tertipu oleh manis urusan dunia ada baiknya kita renungkan nasihat bijak dari khalifah ke dua Amirul Mukminin Umar ibnu Khatthab:
”Letakkan kehidupan dunia itu dalam gengaman tangan anda, jangan letakkan dunia didalam hati anda.”
Bagaimana bila kita meletakkan “sesuatu” itu  ditangan kita? Bisakah “sesuatu” itu kita lemparkan menjauh dari kita? Bisakah “sesuatu” itu kita masukan ke dalam saku kita? Tentu jawabannya adalah bisa. Mengapa? Karena sesuatu itu ada di tangan kita pastilah ada di dalam kendali kita mau kita apakan saja bisa. Kita tinggalkan bisa, kita lempar bisa, kita berikan ke seseorang juga bisa. Sebab semuanya masih ada dalam kendali kita. Hal ini akan lain bila “sesuatu” itu ada dalam “hati” kita. Sebab sesautu yang sudah melekat di dalam hati akan sulit kita lepaskan. Dan bila kita lepaskan, maka biasanya akan terasa sakit. Oleh karena itu nasihat sang khalifah ini benar-benar bijak. Letakkan dunia ini hanya sebatas di dalam genggaman tangan saja. Jangan sampai masuk ke hati. Iblis dan setan berusaha merayu kita untuk meletakkan dunia itu tidak hanya di dalam genggaman tangan tetapi sampai masuk ke hati.
               Khalifah Umar inbu Khatthab benar. Mengapa dunia cukup hanya kita letakkan di dalam genggaman dan tidak dalam hati. Sebab nilai dunia bila dibandingkan dengan nikmat akhirat adalah tiada bandingnya. Perhatikanlah sabda Rasulullah SAW tentang nilai dunia:
“Tidaklah dunia bila dibandingkan dengan akhirat kecuali hanya semisal salah seorang dari kalian memasukkan sebuah jarinya ke dalam lautan,maka hendaklah ia melihat apa yang dibawa oleh jari tersebut ketika diangkat? (HR Muslim)
Pertanyaannya seberapakah banyak air yang mampu kita angkat dengan jari kita? Setetes, dua tetes, atau baling banyak tiga tetes. Itulah nikmat dunia bila dibandingkan dengan nikmat akhirat. Lantas seberapakah nikmat akhirat itu? Nikmat akhirat itu adalah air sebanyak lautan itu sendiri. Luar biasa, itulah kata yang pantas kita ucapkan. Sebab bila kita mau bersabar sedikit dikehidupan dunia ini tentulah kita akan termasuk orang-orang yang beruntung. Bagaimana tidak beruntung? perniagaan mana yang bisa mendatangkan keuntungan seperti ini? Hanya modal setetes, dua tetes mendapatka seluruh air dilautan. Sungguh perniagaan yang menguntungkan. Alangkah ringannya hanya dengan meletakkan dunia di dalam genggaman, kita akan mendapatkan keuntungan perniagaan yang sangat besar.
Bila paragraf di atas bercerita tentang perbedaan “kualitas nikmat” dunia dan akhirat. Maka marilah kita renungkan pula perbandingan dari segi “waktu”  antara kehidupan dunia dan akhirat. Lamakah perantauan ini? Marilah kita berhitung. Manusia zaman ini hidup dengan umur rata-rata 70 tahun, Rasulullah Muhammad SAW berumur hingga 63 tahun. Apakah ini termasuk masa yang lama? Dalam Al Quran Allah bertanya:
"Berapa tahunkah lamanya kamu tinggal di bumi?" Mereka menjawab: "Kami tinggal (di bumi) sehari atau setengah hari, maka tanyakanlah kepada (malaikat) yang menghitung. Allah berfirman: "Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui  (QS Al Mu’minuun : 112-114)
Dari ayat di atas ada sesuatu yang menarik yang perlu kita cermati. Allah bertanya kepada manusia berapa tahun? Tetapi jawaban manusia ternyata sehari atau setengah hari. Apakah ada yang salah dalam teks Al Quran yang mulia tersaebut? Ternyata tidak . Allah bertanya berapa tahun dan manusia menjawab sehari atau setengah hari ini menunjukan adanya perbedaan perhitungan waktu antara dunia dan akhirat. Hitungan tahunan dalam sekala kehidupan dunia setara dengan hitungan hari di akhirat. Dari sini kita tahu bahwa ternyata waktu kita hidup di dunia bila dibandingkan dengan bentangan waktu di akhirat sungguh tidaklah setara. Bila kita simak ayat-ayat berikut tentu kita akan lebih mengetahui betapa waktu dunia tidaklah berarti bila dibadingkan perhitungan-perhitungan waktu di akhirat:
               “Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) melainkan (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari (QS An Naazi’aat : 46)
               “Dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka,(mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia)hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk (TQS Yunus [10] : 45)
Allah berkuasa atas waktu, di akhirat waktu benar-benar  tidak setara dengan perbandingan waktu di dunia. Hal ini memberi pelajaran bagi kita bahwa perantauan kita ini benar-benar singkat. Sehingga Rasulullah tidaklah salah bila menambahi di akhir hadit dengan kata-kata  “atau bahkan seperti orang yang sekedar lewat.”
Baiklah kita lebih mengerucut lagi, bila waktu diakhirat sangat tak terbatas, marilah kita hitung perbandingan rata-rata umur manusia di dunia dengan perbandingan lama penantian kita di padang masyhar saja. Rasulullah SAW bersabda:
“Bagaimana keadaan kalian jika Allah mengumpulkan kalian di suatu tempat , seperti berkumpulnya anak-anak panah di dalam wadahnya selama 50.000 tahun dan Dia tidak menaruh kepedulian terhadap kalian?” (HR Hakim dan Thabrani)
maka perantauan kita di dunia bila dibandingkan dengan lamanya kita menunggu di padang masyar untuk dikhisab hanyalah terasa selama : 2 menit 1 detik.  Sungguh benar apa yang disampaikan Rasulullah hidup senilai 2 menit 1 detik bila dibandingkan dengan waktu di padang masyar, bak air setetes dibandingkan air seluruh lautan.
               Maka untuk wahai saudaraku sungguh jangan sampai kita terlena dengan kehidupan dunia. Karena hidup bagai perantauan seorang musafir yang hanya berlalu sekejab saja dan kita akan pulang ke kampung halama kita selama-lamanya. Letakkan dunia hanya di dalam genggaman saja sebab bila dalam hati kita akan sulit melepaskannya dan kitapun akan kehilangan kesempatan pulang ke rumah kita di surga selama-lamanya. Janganlah kita termasuk orang-orang yang merugi sebab kita tidak tahu kapan ajal kita tiba.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati .”(QS al Anbiya [21] : 35)
Dan bila ajal itu telah tiba, maka tak dapat seorangpun mengundurnya:
“Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak (pula) mendahulukan(nya).” (QS Yunus : 49)
Yaa Allah saksikan bahwa aku telah menyapaikan
Wallahu A’lam bish Showab [win]